*Dimuat di KORAN JAKARTA edisi Selasa 12 Februari 2013
Guru adalah garda terdepan dalam pendidikan. Sistem pendidikan boleh canggih, kurikulum boleh hebat, namun di atas semua itu dedikasi, keikhlasan, dan teladan yang diberikan gurulah yang akan menentukan keberhasilan upaya pencerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan.
Setiap guru tentu sangat memahami kewajibannya sebagai seorang guru. Kewajiban yang diketahui setiap guru adalah mengajar atau mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.Tanggung jawab yang diemban setiap guru adalah tanggung jawab untuk menjadikan peserta didik menjadi pribadi yang cerdas. Namun untuk mendapat sebutan guru, dengan mengajar saja sangat tidak memadai. Kecerdasan yang ditandai dengan penguasaan pengetahuan tidak menjadi tolok ukur keberhasilan menjadi seorang guru.
Melalui buku berjudul Stop Menjadi Guru!, Asep Sapa’at menjelaskan dengan begitu gamblang bagaimana (seharusnya) menjadi seorang guru yang berhasil tidak hanya dalam proses transformasi ilmu pengetahuan, namun juga berhasil dalam menanamkan karakter melalui pemberian contoh berisi nilai-nilai dan norma-norma yang baik.
Penulis mengawali pembahasan buku dengan penjelasan yang menekankan arti penting bagi guru untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik mengenai impian atau cita-cita yang harus mereka raih di masa mendatang. Terkait dengan impian peserta didik, gurulah yang memegang peranan penting dalam membangkitkan keberanian peserta didik untuk bermimpi. Karena peserta didik sebagai manusia mempunyai impian. Sekolah tempat mereka belajar harus menjadi tempat terbaik untuk mewujudkan impian-impian peserat didik di masa depan (halaman 4).
Berangkat dari berbagai praktik baik (best practice) pendidikan oleh guru yang dipotret dari berbagai belahan di Indonesia, penulis buku yang memang seorang guru sekaligus pengamat pendidikan memaparkan beberapa kisah tentang guru-guru yang inovatif (Kubochi Ikuya dari Jepang), kreatif (Erin Gruwell seperti dikisahkan dalam film “The Freedom Writers”), dedikasi tinggi (Monica dari Maluku), teladan (guru migran di Hong Kong), dan beberapa kisah guru-guru di Indonesia yang telah memilih mengajar dan mendidik sebagai panggilan hidup (halaman 5-42).
Kisah-kisah yang dipaparkan penulis buku dapat menjadi inspirasi bagi guru-guru lain agar dapat menjadikan pilihan mereka sebagai guru sebagai pilihan mulia karena menyangkut upaya menyelamatkan masa depan generasi bangsa. Bisa jadi banyak guru yang berpikiran bahwa menjadi guru di Indonesia menghadapi banyak masalah dan resiko. Namun penulis buku berupaya meyakinkan bahwa menjadi guru berarti berinvestasi untuk Indonesia. Perjuangan guru adalah perjuangan demi keberlangsungan pendidikan Indonesia. Demi kepentingan bangsa, guru menjadi sosok penting yang akan menyemai benih-benih baru generasi bangsa yang dapat diharapkan untuk kemajuan bangsa Indonesia ke depan.
Hal penting yang ditekankan dalam buku ini adalah pada bagaimana guru tidak hanya harus memberikan pemahaman mengenai sebuah teori, namun juga bagaimana penerapannya dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh misalnya upaya guru untuk menanamkan karakter. Penerapan karakter (seharusnya) tidak hanya melalui teori sebagaimana yang lebih banyak dilakukan, tapi melalui sebuah pembiasaan dan peneladanan. Melalui sebuah bentuk praktik nyata antara ilmu dan amal. Kegagalan terbesar dari sistem pendidikan kita bukan terletak pada masalah lemahnya pendidikan mencerdaskan rakyat, tetapi terletak pada masalah ketidakmampuan pendidikan menyadarkan rakyat terhadap permasalahan hidup yang nyata.
Dalam kehidupan masyarakat kita, banyak sekali contoh yang kontraproduktif dengan apa yang ada dalam dunia pendidikan. Peserta didik diberikan pemahaman mengenai arti kejujuran namun budaya mencontek dibiarkan. Bahkan kasus di beberapa sekolah, mencontek malah difasilitasi sendiri oleh guru. Orang-orang korup yang memiliki jabatan di pemerintahan adalah orang-orang terdidik hingga perguruan tinggi. Semua fenomena tersebut disuguhkan kepada kita melalui pemberitaan di berbagai media massa. Dari berbagai fenomena tersebut, nampaknya pendidikan karakter yang diterapkan dalam dunia pendidikan kita hanya baru sebatas teori, tanpa mengindahkan keteladanan, penerapan amal, dan membangun kesadaran serta kedewasaan. Jika ini terus terjadi, dunia pendidikan kita tidak akan mampu memberikan kontribusi pada bangsa ini untuk keluar dari keterpurukan.
Dunia pendidikan Indonesia memiliki masalah yang kompleks yang mesti dikritisi dan dicari solusinya agar pendidikan Indonesia menempati posisi penting dalam mencetak generasi yang cerdas dan berakhlak. Melalui buku ini, Asep Sapa’at juga memaparkan tentang mekanisme pembenahan dalam sistem pendidikan Indonesia, mulai dari masalah Ujian Nasional (UN) hingga urgensi guru menjadikan membaca dan menulis sebagai budaya yang akan membantu guru mengembangkan kompetensinya.
Buku dengan judul yang memancing pembaca untuk mengetahui lebih dalam isi dari buku ini adalah semacam kumpulan tulisan penulis tentang guru dan dunia pendidikan. Kumpulan tulisan ini terbagi menjadi enam bagian yang saling terkait. Dengan bahasa yang ringan, penulis ingin membawa pembaca terutama guru untuk merenungkan kembali arti menjadi guru yang sebenarnya.
Secara keseluruhan, buku setebal 288 halaman ini berupaya membantu pembaca terutama guru dalam memetakan permasalahan pendidikan Indonesia agar mampu menemukan arah dan jati diri. Buku ini dapat memotivasi setiap tenaga pengajar untuk menjadi guru yang kreatif, inovatif, iklhas, berdedikasi, bertanggungjawab, sabar, mencintai, sabar, penyayang, peduli, dan menjadi pembelajar sejati.
Diresensi oleh Kamal Fuadi, Kurator Taman Bacaan Masyarakat Tiga Surau, Tegal
Judul : Stop Menjadi Guru!
Penulis : Asep Sapa’at
Penerbit : PT. Tangga Pustaka
Terbit : 2012
Tebal : 288 halaman
Harga : Rp. 45.000,-
Guru adalah garda terdepan dalam pendidikan. Sistem pendidikan boleh canggih, kurikulum boleh hebat, namun di atas semua itu dedikasi, keikhlasan, dan teladan yang diberikan gurulah yang akan menentukan keberhasilan upaya pencerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan.
Setiap guru tentu sangat memahami kewajibannya sebagai seorang guru. Kewajiban yang diketahui setiap guru adalah mengajar atau mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.Tanggung jawab yang diemban setiap guru adalah tanggung jawab untuk menjadikan peserta didik menjadi pribadi yang cerdas. Namun untuk mendapat sebutan guru, dengan mengajar saja sangat tidak memadai. Kecerdasan yang ditandai dengan penguasaan pengetahuan tidak menjadi tolok ukur keberhasilan menjadi seorang guru.
Melalui buku berjudul Stop Menjadi Guru!, Asep Sapa’at menjelaskan dengan begitu gamblang bagaimana (seharusnya) menjadi seorang guru yang berhasil tidak hanya dalam proses transformasi ilmu pengetahuan, namun juga berhasil dalam menanamkan karakter melalui pemberian contoh berisi nilai-nilai dan norma-norma yang baik.
Penulis mengawali pembahasan buku dengan penjelasan yang menekankan arti penting bagi guru untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik mengenai impian atau cita-cita yang harus mereka raih di masa mendatang. Terkait dengan impian peserta didik, gurulah yang memegang peranan penting dalam membangkitkan keberanian peserta didik untuk bermimpi. Karena peserta didik sebagai manusia mempunyai impian. Sekolah tempat mereka belajar harus menjadi tempat terbaik untuk mewujudkan impian-impian peserat didik di masa depan (halaman 4).
Berangkat dari berbagai praktik baik (best practice) pendidikan oleh guru yang dipotret dari berbagai belahan di Indonesia, penulis buku yang memang seorang guru sekaligus pengamat pendidikan memaparkan beberapa kisah tentang guru-guru yang inovatif (Kubochi Ikuya dari Jepang), kreatif (Erin Gruwell seperti dikisahkan dalam film “The Freedom Writers”), dedikasi tinggi (Monica dari Maluku), teladan (guru migran di Hong Kong), dan beberapa kisah guru-guru di Indonesia yang telah memilih mengajar dan mendidik sebagai panggilan hidup (halaman 5-42).
Kisah-kisah yang dipaparkan penulis buku dapat menjadi inspirasi bagi guru-guru lain agar dapat menjadikan pilihan mereka sebagai guru sebagai pilihan mulia karena menyangkut upaya menyelamatkan masa depan generasi bangsa. Bisa jadi banyak guru yang berpikiran bahwa menjadi guru di Indonesia menghadapi banyak masalah dan resiko. Namun penulis buku berupaya meyakinkan bahwa menjadi guru berarti berinvestasi untuk Indonesia. Perjuangan guru adalah perjuangan demi keberlangsungan pendidikan Indonesia. Demi kepentingan bangsa, guru menjadi sosok penting yang akan menyemai benih-benih baru generasi bangsa yang dapat diharapkan untuk kemajuan bangsa Indonesia ke depan.
Hal penting yang ditekankan dalam buku ini adalah pada bagaimana guru tidak hanya harus memberikan pemahaman mengenai sebuah teori, namun juga bagaimana penerapannya dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh misalnya upaya guru untuk menanamkan karakter. Penerapan karakter (seharusnya) tidak hanya melalui teori sebagaimana yang lebih banyak dilakukan, tapi melalui sebuah pembiasaan dan peneladanan. Melalui sebuah bentuk praktik nyata antara ilmu dan amal. Kegagalan terbesar dari sistem pendidikan kita bukan terletak pada masalah lemahnya pendidikan mencerdaskan rakyat, tetapi terletak pada masalah ketidakmampuan pendidikan menyadarkan rakyat terhadap permasalahan hidup yang nyata.
Dalam kehidupan masyarakat kita, banyak sekali contoh yang kontraproduktif dengan apa yang ada dalam dunia pendidikan. Peserta didik diberikan pemahaman mengenai arti kejujuran namun budaya mencontek dibiarkan. Bahkan kasus di beberapa sekolah, mencontek malah difasilitasi sendiri oleh guru. Orang-orang korup yang memiliki jabatan di pemerintahan adalah orang-orang terdidik hingga perguruan tinggi. Semua fenomena tersebut disuguhkan kepada kita melalui pemberitaan di berbagai media massa. Dari berbagai fenomena tersebut, nampaknya pendidikan karakter yang diterapkan dalam dunia pendidikan kita hanya baru sebatas teori, tanpa mengindahkan keteladanan, penerapan amal, dan membangun kesadaran serta kedewasaan. Jika ini terus terjadi, dunia pendidikan kita tidak akan mampu memberikan kontribusi pada bangsa ini untuk keluar dari keterpurukan.
Dunia pendidikan Indonesia memiliki masalah yang kompleks yang mesti dikritisi dan dicari solusinya agar pendidikan Indonesia menempati posisi penting dalam mencetak generasi yang cerdas dan berakhlak. Melalui buku ini, Asep Sapa’at juga memaparkan tentang mekanisme pembenahan dalam sistem pendidikan Indonesia, mulai dari masalah Ujian Nasional (UN) hingga urgensi guru menjadikan membaca dan menulis sebagai budaya yang akan membantu guru mengembangkan kompetensinya.
Buku dengan judul yang memancing pembaca untuk mengetahui lebih dalam isi dari buku ini adalah semacam kumpulan tulisan penulis tentang guru dan dunia pendidikan. Kumpulan tulisan ini terbagi menjadi enam bagian yang saling terkait. Dengan bahasa yang ringan, penulis ingin membawa pembaca terutama guru untuk merenungkan kembali arti menjadi guru yang sebenarnya.
Secara keseluruhan, buku setebal 288 halaman ini berupaya membantu pembaca terutama guru dalam memetakan permasalahan pendidikan Indonesia agar mampu menemukan arah dan jati diri. Buku ini dapat memotivasi setiap tenaga pengajar untuk menjadi guru yang kreatif, inovatif, iklhas, berdedikasi, bertanggungjawab, sabar, mencintai, sabar, penyayang, peduli, dan menjadi pembelajar sejati.
Diresensi oleh Kamal Fuadi, Kurator Taman Bacaan Masyarakat Tiga Surau, Tegal
Judul : Stop Menjadi Guru!
Penulis : Asep Sapa’at
Penerbit : PT. Tangga Pustaka
Terbit : 2012
Tebal : 288 halaman
Harga : Rp. 45.000,-